MEDAN : Kebijakan Walikota Medan membongkar gapura pintu masuk kota Medan dari arah Binjai, yang selanjutkan akan diikuti gapura dari arah Tanjung Morawa dan dari arah Pancurbatu, telah menimbulkan reraksi dari berbagai kalangan, karena dianggap telah menghilangkan identitas Melayu sebagai etnis asli kota Medan, khususnya Melayu Deli.
Menanggapi hal itu, tokoh masyarakat Melayu Sumatera Utara Dr. H. Sakhyan Asmara, MSP menyatakan bahwa jika pembongkaran itu dilakukan, lalu kemudian bangunan gapura yang baru menghilangkan identitas Kemelayuan, berarti Walikota Medan telah melakukan kebijakan publik yang salah. Sebab kota Medan adalah kota Melayu, khususnya Melayu Deli. Sakhyan yang juga pakar Kebijakan Publik itu menyatakan bahwa akar sosiologis masyarakat kota Medan adalah Melayu Deli. Oleh sebab itu identitas Kemelayuan di kota Medan tidak bolah dihilangkan, terlebih pada bangunan pintu masuk kota Medan yakni Gapura.
Gapura tegas Sakhyan harus memberi kesan identitas terhadap masyarakat asli kota Medan yakni Melayu. Perlu diingat, bahwa sepanjang pantai timur Sumatera Utara, mulai dari Langkat sampai Labuhan Batu Selatan adalah kawasan Melayu yang dalam sejarahnya dipimpin para Sultan. Terdapat delapan Kesultanan yang ada di sepanjang pantai timur Sumatera Utara, dimana kota Medan masuk dalam kawasan Kesultanan Deli yang dipimpin oleh Sultan Deli sebagai raja Kerajaan Melayu Deli.
Secara arsitektur, gapura sebagai pintu masuk suatu kota atau wilayah harus memberikan kekhasan struktur bangunan sesuai dengan simbol-simbol adat istiadat masyarajkat setempat. Hal itu menjadi suatu yang bersifat mutlak, karena gapura memberikan simbol ekspresi budaya, adat-istiadat etnis yang sudah berurat akar bermastautin di kota atau wilayah tersebut.
Kota Medan yang berdiri tahun 1590 memiliki sejarah panjang, yang dulunya merupakan pusat dari pemerintahan Kesultanan Melayu Deli. Tidak boleh dinafikan bahwa akar sosiologis masyarakat kota Medan adalah masyarakat Melayu, khususnya Melayu Deli. Oleh sebab itu bangunan gapura pintu masuk di tiga sisi Kota Medan yakni dari arah Binjai, Tanjung Morawa dan Pancurbatu, haruslah merupakan bangunan simbol adat istiadat masyarakat Melayu.
Walikota Medan jangan melakukan “genosida” terhadap etnis Melayu. Hal itu akan memantik kemarahan masyarakat Melayu yang selama ini masih diam dengan perilaku Walikota Medan yang terkesan mengenyampingkan etnis Melayu. “Jangan mengangkat batang terendam” ujar Sakhyan, dan jangan mengusik singa yang selama ini duduk diam dan patuh. Namun jika nilai-nilai asasi yakni nilai-nilai kultural masyarakat Melayu sudah tidak dihargai lagi, sepatutnya akan muncul kemarahan dari masyarakat Melayu. Seharusnya Bobby berpegang teguh kepada filosofi “dimana bumi dipijak, disitu langit di junjung”, lanjut Sakhyan yang bergelar Datuk Wangsa Diraja Melayu.
Di masa lalu beberapa kali kota Medan dipimpin oleh pejabat yang bukan berasal dari etnis Melayu, seperti Syurkani dari Minang, A.S Rangkuti dari Mandailaing, tetapi sangat menghormati dan menghargai keberadaan etnis Melayu. Sakhyan berharap, Walikota Medan harus bijaksana dalam merespons persoalan ini, jangan menimbulkan kesan “arogansi kekuasaan”. Itu sangat berbahaya. Sakhyan juga berharap Forum Komunikasi Lintas Adat (Forkala) kota Medan memberi masukan kepada Walikota Medan, agar suasana sejuk, saling menghormati dan menghargai sesama anggota masyarakat dari berbagai kultur dimana etnis Melayu sebagai etnis tempatan dapat terpelihara dengan baik, pungkas Sakhyan.(red)